Indigo Talk (Herworld November 2009)

Berbicara dengan tumbuhan, mencari dompet hilang dengan gerakan tangan, dan merasakan emosi orang-orang sekitar, adalah tiga dari berbagai keistimewaan yang mereka miliki. Oleh KRESENTIA MARISA YOENG

Lee Carroll dan Jan Tober dalam bukunya yang berjudul The Indigo Children, menjelaskan bahwa anak indigo adalah perempuan dan laki-laki yang memperlihatkan serangkaian atribut psikologis baru dan tidak biasa, serta mengungkap pola perilaku yang secara general belum pernah didokumentasikan sebelumnya. Pola tersebut mengandung faktor yang unik dan ganjil, sehingga menuntut orangtua dan guru-guru untuk mengubah cara mendidik dan mengasuh, demi tercapainya keseimbangan dan harmoni dalam hidup anak tersebut, serta menjaga mereka dari rasa frustasi.

Jika Carroll dan Tober menjelaskan secara teoritis, maka Shinta Dewi, 36, brand manager; Angga Permana, 29, dokter dan hypnotherapist; serta Avatar*, 35, karyawan bidang Customer Relationship Management (CRM), memberi pemahaman dari sudut pandang praktis. Di sebuah coffee shop bilangan Kuningan, mereka bercerita mengenai perjalanan hidup sebagai anak indigo.

Masa kecil yang sulit

Since I can remember something, saya tahu bahwa saya berbeda dari anak-anak lain,” ujar Angga memulai cerita. Karena perbedaan tersebut, kesalahpahaman dengan keluarga dan lingkungan merupakan hal yang biasa. Salah satu isu adalah pandangannya yang terbilang langka dalam banyak hal. “Saya tak pernah mengerti dengan konsep “benar-salah”. Kenapa kita harus melihat permasalahan dengan cara seperti itu? Saya punya pendapat lain, namun orang-orang malah menganggapnya tidak applicable. Keluarga yang percaya bahwa uang membawa kebahagiaan juga tak pernah saya pahami. Menurut saya, uang hanyalah bonus, tapi bukan the point of life,” lanjut Angga.

Selain itu, ia juga dapat merasakan emosi orang-orang di sekitarnya. “Dari kecil saya sering marah-marah, dan setelah dewasa baru sadar ternyata I can open to other’s emotion. Jadi sebenarnya bukan saya yang kesal, melainkan orang-orang di sekeliling saya. Jika ada lima orang, emosi saya kumulatif lima-limanya, jadi sayalah yang paling galak, hahaha…” Angga pun memiliki intuisi yang tajam. “Seringkali ketika saya mempertanyakan sesuatu, jawaban akan segera datang. Misalnya, jika ingin makan kue, saya akan tahu nanti mama pulang membawa kue. Knowing saja. Tidak ada suara, tidak ada penglihatan, just knowing.”

Hal yang sama juga dialami Avatar. “Waktu itu, ayah saya pernah berbisnis dengan seseorang. Ketika dia berkunjung ke rumah, tidak tahu bagaimana saya melihatnya, saya langsung berkata, ´Dia bebek, dia bebek, dia bebek. Enggak mau dekat-dekat dia, dia bebek.´ Walaupun sudah ditegur, tetap saja saya bilang dia bebek. Sampai akhirnya terbukti bahwa dia adalah penipu. Memang kadang kita bisa tahu dengan sendirinya, intuisi. Tapi karena masih kecil jadi disampaikan dengan bahasa anak-anak,” ujar Avatar yang dulu amat pendiam dan jarang bergaul.

Ia lebih memilih bergumul dengan pendulum, meditasi, yoga, tarot, astrologi, numerologi dan kinesiologi (pengetahuan yang memanfaatkan getaran energi atau gelombang elektromagnet dalam tubuh). Namun, semua itu ditentang oleh sang ayah karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.

Keistimewaan lain yang dimiliki Avatar dan sulit dipahami orang lain adalah, tangan yang dapat bergerak sendiri. ¨Jadi, saat mencari jejak di zaman pramuka, saya yang paling hebat. Hingga saat kuliah, tangan saya sudah bisa mencari dompet yang hilang dan amat membantu saat ujian pilihan ganda, seperti tangan pelacak, hahaha…”

Tak jauh berbeda dengan dua sahabatnya, Shinta pun dianugerahi ketajaman intuisi (“jika keluarga mempunyai masalah, saya pasti tahu lebih dulu.”), senang berimajinasi dan lebih aktif sendiri, baik di rumah maupun di sekolah. Siapapun bisa menjadi teman bicaranya, entah meja, kursi, tanaman maupun binatang. “Dari kecil sudah tahu aneh, jadi cuek saja biarpun ada yang meledek. Saya juga tidak ada takutnya. Pernah saat kelas 3 SD, Bapak bangkrut dan saya pindah ke SD negeri. Biasanya tidak pernah jalan kaki kalau ke sekolah, selalu diantar. Tapi waktu itu saya jalan kaki pulang-pergi dari Saharjo ke Tebet,” gelak Shinta yang telah beberapa kali dibawa ke psikiater. Meski begitu, bukan berarti mereka merana dalam kesendirian, melainkan justru merasa nyaman.

Kecenderungan “all by myself” tersebut juga tidak menghalangi ketiganya menjadi siswa-siswi berprestasi. “Saya memang cepat menyerap pelajaran, mudah mengerti. Bahkan saat SD sempat bingung, kok gampang banget ya? Saya selalu mendapat nilai 100,” kenang Shinta.

Pada akhirnya, dengan segala perbedaan itu, apakah mereka pernah mencoba menyamakan diri dengan orang-orang sekitar? Shinta menggelengkan kepala, namun Angga berkata, “Pernah banget. Semua keinginan orangtua, saya ikuti. Tapi lama-kelamaan saya semakin tidak bahagia. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk berhenti. I don’t want to satisfy you, I want to satisfy myself.” Avatar pun pernah melakukan usaha serupa. Namun ketika menginjak bangku SLTP, ia memilih untuk menerima bahwa dirinya memang berbeda.

Di usia dewasa

Sebenarnya, tiap anak terlahir sebagai indigo, tapi hanya segelintir saja yang sadar dan mau mempertahankannya hingga dewasa. Angga menjelaskan, ¨Tahap awal yang berat karena melawan mainstream, membuat mereka menolak dan lama-kelamaan menjadi anak biasa. Padahal, bila sudah menyadari bahwa mereka indigo, mereka akan bahagia. ¨Drama¨ pun selesai.¨

Beberapa orang berpikir bahwa kecenderungan indigo akan berakhir kala dewasa. Memang, ada sebagian orang yang cocok dengan pernyataan tersebut, namun sebagian lagi justru bertolak belakang. Bukannya memudar, mereka malah kian ¨menonjol¨.

Angga kembali bercerita, ¨Saat masih kecil, saya memang merasa amat aneh. Tapi karena sekarang sudah mandiri, ya jadi semakin tidak peduli. Makin mengerti dan menerima diri apa adanya. Makin tidak perlu memuaskan orang lain dan makin bahagia.¨ Shinta pun hingga kini masih -bahkan lebih sering- berbicara dengan alam. ¨Sampai satpam di kantor maklum jika melihat saya sedang berada di tengah-tengah tumbuhan, hahaha… Biasanya saya menghampiri yang hampir layu, untuk sekadar berbincang, berbagi, dan say hi. Seperti teman saja.¨

Selain itu, seiring perjalanan waktu, mereka pun kian memandang segala hal secara universal. Tidak melihat hierarki (tua-muda, atasan-bawahan), tidak ada lagi label benar-salah, juga tidak mengkotak-kotakkan agama. ¨Kalau dilihat, mungkin dulu saya anak yang paling menyimpang. Karena keluarga saya amat kental Islamnya, sedangkan sejak SD saya cinta Dewi Kwan Im dan Bunda Maria. Karena mereka menyebarkan cinta dan sejak kecil saya kekurangan cinta. Waktu ke Singapura, yang pertama kali saya lakukan adalah pergi ke kuil. Sementara di Jakarta saya sering mengunjungi gereja Katedral, meski sampai sekarang agama yang tertulis di KTP masih Islam,¨ tutur Shinta yang ketika kecil bercita-cita sebagai arkeolog.

Titik balik dalam hidup

Butuh perjalanan panjang dan berliku sebelum akhirnya mereka sadar dan mengerti keistimewaan yang dimiliki. Seperti Angga yang baru saja mengalami titik balik dua tahun lalu, di usia ke-27. “Sejak kecil, saya dan papa memang sering terlibat konflik. Papa bahkan pernah bertanya terang-terangan kenapa saya begitu berbeda. Pertengkaran pun menjadi hal yang wajar. Tapi suatu kali, kami bertengkar saat umroh. Saya jadi merasa aneh. Umroh kan tujuannya untuk ibadah, tapi kok malah bertengkar dengan orangtua? Ketika pulang, saya pun bertekad untuk membenahi diri. Dan entah kenapa, saat saya memaafkan papa, semuanya langsung ¨terbuka¨,¨ cerita Angga panjang lebar. Ia pun mengerti apa yang selama ini terjadi dalam dirinya; ia bisa menerima perbedaan yang ada, mampu memisahkan emosi orang lain dari emosi pribadi sehingga tak lagi terpengaruh, dan sadar bahwa berbagai ¨knowing¨ yang selalu datang adalah intuisi. ¨Karena dulu diajarkan untuk tidak berprasangka buruk. Jadi meski sudah merasa bahwa orang ini tidak baik, akhirnya saya me-reset pendapat itu. Sekarang, saya tak ragu lagi mengikuti intuisi,¨ lanjut Angga.

Sedangkan, titik balik dialami Avatar pada usia 25 tahun. Saat itu, ia mengalami semua kegagalan dalam hidup: bisnis, relationship dan pekerjaan. ¨Tabungan habis dalam waktu delapan bulan dan sisanya dipakai untuk naik haji, menuruti ´suara´ yang saya dengar. Esoknya, saya menyembah kaki ayah dan ibu, minta maaf jika ada yang salah.¨ Sementara Shinta mengalami titik balik satu setengah tahun lalu, ketika ia bercerai dari sang suami. ¨Jadi ketika tahu dia berpoligami, hari itu juga langsung berpisah secara agama, tanpa ada saksi. Sebulan penuh saya collapse sebelum akhirnya mampu menerima keadaan,¨ urai Shinta.

All in all, mereka mengakui diperlukan niat tulus maaf-memaafkan untuk mencapai penerimaan diri seutuhnya, yang kemudian akan membawa kebahagiaan.

* Bukan nama sebenarnya

2 Comments

  1. sepertinya kusedang mengalami ini deh: Makin mengerti dan menerima diri apa adanya. Makin tidak perlu memuaskan orang lain dan makin bahagia.

  2. 🙂
    Hehehe yup.
    Jadilah diri sendiri, tanpa perlu pengakuan dari orang lain atas keberadaan diri kita.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *